ads1

banner

Minggu, 12 Oktober 2025

MENEGUHKAN DESAIN KONSTITUSIONAL POLRI

author photo

Jakarta(PATROLI BANGSA NASIONAL)Dalam beberapa minggu terakhir, wacana mengenai reposisi Kepolisian

Negara Republik Indonesia (Polri) kembali mengemuka. Gagasan ini muncul dalam

berbagai forum akademik dan ruang publik, yang pada intinya mempertanyakan

apakah Polri sebaiknya berada di bawah Presiden atau ditempatkan di bawah suatu

kementerian, seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum atau

Kementerian Keamanan Dalam Negeri (bila dibentuk di masa depan).


Wacana semacam ini bukanlah hal baru. Sejak masa awal reformasi, isu

kedudukan Polri telah menjadi bagian dari perdebatan besar tentang reformasi

sektor keamanan (security sector reform). Namun, dalam konteks politik hukum dan

tata negara Indonesia, setiap perubahan terhadap struktur kelembagaan Polri tidak

hanya menyangkut aspek efisiensi birokrasi, tetapi juga berimplikasi terhadap

keseimbangan kekuasaan, prinsip negara hukum, dan karakter demokrasi

konstitusional yang dibangun sejak 1998.


Kerangka Konstitusional Kedudukan Polri


UUD Negara republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) secara eksplisit

dalam Pasal 30 ayat (4) menegaskan bahwa "Kepolisian Negara Republik Indonesia

sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas

melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum". Formulasi

norma konstitusi ini meneguhkan bahwa Polri adalah "alat negara", bukan alat pemerintahan atau alat kekuasaan tertentu.


Sebagai konsekuensinya, secara normatif Pasal 8 UU Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) memposisikan Polri berada di bawah Presiden,

dipimpin oleh Kapolri yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada

Presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam praktik ketatanegaraan, posisi sebagai alat negara di bawah Presiden

meneguhkan dua prinsip penting, yakni: (1) Polri berada di luar subordinasi politik

sektoral kementerian, dan (2) tanggung jawabnya bersifat langsung kepada

Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi di bidang eksekutif

sebagaimana digariskan dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945.

Dengan demikian, menempatkan Polri di bawah kementerian justru

mereduksi otonomi konstitusional Polri, serta memunculkan kembali pola

subordinasi politik yang telah dihapuskan melalui reformasi 1998 ketika Polri

dipisahkan dari TNI. Reposisi ke bawah kementerian akan menempatkan Polri

sebagai "alat eksekutif" bukan "alat negara" sebagaimana yang dikehendaki

konstitusi, yang menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat secara

independen.


Tidak hanya itu, reposisi Polri di bawah kementerian tidak hanya memerlukan

perubahan undang-undang, tetapi juga reorientasi terhadap desain konstitusional

kekuasaan eksekutif. Dalam teori hukum konstitusi, struktur lembaga yang secara eksplisit disebut dalam UUD tidak dapat diubah secara substantif tanpa

amandemen konstitusi. 


Ini langkah besar yang justru berpotensi menimbulkan

instabilitas hukum dan ketatanegaraan.


Rasionalitas Konstitusional


Dalam perspektif politik hukum, desain kelembagaan Polri pascareformasi

mencerminkan rasionalitas konstitusional dan demokratis. Pemisahan Polri dari TNI

pada tahun 1999 melalui TAP MPR Nomor VI/MPR/2000 dan TAP MPR Nomor

VII/MPR/2000 merupakan tonggak politik hukum yang menegaskan demiliterisasi

fungsi keamanan dalam negeri dan memperkuat orientasi Polri sebagai kekuatan

sipil profesional.


Rasionalitas politik hukumnya jelas bahwa TNI berperan dalam pertahanan

negara terhadap ancaman eksternal, dan Polri berperan dalam keamanan dan

ketertiban masyarakat terhadap ancaman internal. Kedua "alat negara" ini bersifat

komplementer, bukan subordinatif. Bila Polri ditempatkan di bawah kementerian,

maka akan muncul risiko duplikasi kewenangan, fragmentasi komando, dan

politisasi keamanan.


Sebagai contoh, dalam sistem presidensial, tanggung jawab keamanan

nasional secara prinsip adalah tanggung jawab Presiden. Maka, menempatkan Polri

di bawah menteri justru akan memutus garis komando langsung antara Presiden

dan aparat penegak hukum utama negara.


Bagaimana pun, politik hukum di republik ini telah memilih jalur yang

konstitusional dan stabil dengan menempatkan Polri di bawah Presiden, sementara pengawasannya dilakukan secara horizontal oleh DPR, Kompolnas, maupun

masyarakat sipil.


Relasi Kekuasaan & Governance


Reposisi Polri ke bawah kementerian juga akan menimbulkan asimetri dalam

melaksanakan mekanisme check and balances. Saat ini, sistem keseimbangan

kekuasaan dalam hal keamanan berjalan dengan baik. Hal ini tergambar bahwa (1)

Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan; (2) DPR memiliki fungsi

pengawasan dan anggaran; dan (3) Kompolnas sebagai lembaga nonstruktural

memberi masukan kebijakan dan menerima pengaduan publik.

Apabila Polri berada di bawah kementerian, maka kontrol politik akan

berlapis dan berpotensi menimbulkan "bias kekuasaan ganda", di mana kebijakan

keamanan bisa dipengaruhi oleh agenda sektoral kementerian yang tidak selalu

sejalan dengan kepentingan umum atau prinsip negara hukum. Kondisi ini tentu

bisa melemahkan efektivitas kontrol publik, karena jalur pertanggungjawaban

menjadi tidak langsung lagi ke Presiden maupun DPR.


Selain itu, dari aspek governance, Polri sebagai lembaga penegak hukum

memiliki fungsi quasi-yudisial (penyelidikan dan penyidikan). Menempatkannya di

bawah kementerian berarti menggabungkan fungsi politik (eksekutif sektoral)

dengan fungsi hukum, yang berpotensi melanggar prinsip pemisahan kekuasaan fungsional.


Argumen dari segelintir pihak yang menyatakan bahwa reposisi Polri di

bawah kementerian dapat meningkatkan koordinasi dan efisiensi kebijakan

keamanan nasional, justru tidak berdasar secara administratif maupun empiris.


Koordinasi lintas lembaga saat ini sudah difasilitasi oleh mekanisme rapat kabinet,

dan koordinasi rutin antara Kapolri, Menkopolkam, dan Panglima TNI. Lagi pula

masalah koordinasi bukan soal struktur, melainkan soal tata kelola, integritas, dan

komunikasi antar lembaga.


Polri sendiri secara administratif telah memiliki sistem manajemen

terintegrasi dari pusat hingga daerah yang justru akan menjadi tumpul bila

diletakkan di bawah struktur birokrasi kementerian yang hierarkis dan lambat.


Transformasi, Bukan Reposisi


Secara historis, penempatan Polri di bawah Presiden adalah hasil dari

pergulatan panjang reformasi 1998 yang bertujuan mengakhiri militerisasi politik di

bidang keamanan domestik. Sebelum reformasi, Polri merupakan bagian integral

dari ABRI, sehingga kebijakan keamanan cenderung berorientasi pada stabilitas

politik ketimbang perlindungan hak konstitusional warga negara.


Setelah reformasi, paradigma berubah. Polri dituntut menjadi institusi sipil

profesional, yang bekerja berdasarkan hukum, menjunjung tinggi hak asasi manusia,

dan berorientasi pada pelayanan publik. Reposisi ini memperjelas diferensiasi

fungsi pertahanan dan keamanan dalam kerangka check and balances antara

institusi strategis negara. Reposisi ke bawah kementerian justru akan berisiko

mengembalikan logika lama, bahwa keamanan adalah bagian dari urusan politik

sektoral pemerintah, bukan urusan hukum dan hak warga negara.


Hanya saja harus diakui, reformasi Polri yang dimulai sejak 1999 baru

berhenti pada level "penataan organisasi", belum menyentuh inti persoalan yaitu

pelembagaan "nilai sipil" (civilian values). Reformasi Polri lebih bersifat strukturalformal, belum sampai pada tahap transformasi nilai. Nilai sipil (civilian value) yang

seharusnya mendasari keberadaan Polri dalam negara hukum demokratis

tampaknya belum terinternalisasi secara substantif.

Reformasi

yang

lebih

menekankan

aspek

struktural-formal justru

menghasilkan kesenjangan konstitusional, secara hukum Polri adalah aparat sipil,

namun secara kultural masih mewarisi nilai dan tradisi militer. Akibatnya, Polri

berada dalam posisi ambigu, di satu sisi dituntut melayani masyarakat secara

humanis, tetapi di sisi lain masih terbiasa mengedepankan logika kekuasaan dan

pendekatan represif. Absennya transformasi nilai sipil berpotensi melahirkan

distorsi fungsi Polri, yakni kembali menjadi alat kekuasaan negaara, bukan

instrumen demokrasi.


Kondisi inilah yang perlu ditransformasi Polri sebagai bagian dari reformasi

institusional Polri sesuai dengan kehendak sejarah. Agenda mendesak untuk

dilakukan bukan mengaungkan reposisi, melainkan membumikan nilai-nilai sipil

dalam spirit kerja-kerja Polri menuju Polri yang profesional sebagai "alat negara".


Bukan dengan mendengungkan wacana reposisi Polri di bawah kementerian, yang

justru tidak menyelesaikan akar masalahnya.

Dibutuhkan saat ini adalah bagaimana meneguhkan desain kelembagaan

Polri sesuai dengan original intent konstitusi, dan pada saat yang sama mendorong

akselerasi transformasi nilai-nilai sipil dalam segenap segi-segi fungsi, kedudukan,

dan peran Polri dalam sistem ketatanegaraan. Tantangan Polri bukanlah soal posisi

kelembagaan, tetapi bagaimana menjamin agar setiap tindakan dan kebijakan

kepolisian sebagai institusi sipil profesional, selaras dengan prinsip hukum,

moralitas publik, dan nilai demokrasi.


Refleksi Kritis


Reposisi Polri bukan sekadar persoalan teknokratis, melainkan persoalan

filosofis dan konstitusional. Polri adalah pilar utama penegakan hukum yang

menjadi

penyeimbang

antara

kekuasaan

warga

dan

kekuasaan

negara.


Menempatkan Polri di bawah kementerian sama dengan menggeser orientasi dari

rule of law menjadi rule by government. Dalam demokrasi konstitusional, hukum

harus berdiri di atas kekuasaan, bukan di bawahnya.


Reposisi Polri di bawah kementerian bukan solusi atas tantangan reformasi

Polri. Sebaliknya, justru dapat menciptakan overpoliticization of security dan

undermining of contsitutional design. Kedudukan Polri di bawah Presiden telah teruji

secara hukum, historis, dan politik, serta sesuai dengan prinsip check and balances

Yang menjadi fondasi negara hukum demokratis.

Reformasi Polri ke depan harus diarahkan untuk memperkuat karakter sipil

dan profesional, bukan untuk menempatkan Polri dalam orbit politik sektoral.


Presiden sebagai kepala pemerintahan negara tetap menjadi pemegang komando

tertinggi atas kebijakan keamanan nasional, sementara pengawasan tetap dijaga

melalui kontrol legislatif dan publik.


Dalam konteks ini, arah reformasi Polri seharusnya adalah memperkuat

profesionalitas, etika, dan integritas institusional yang diselimuti spirit nilai sipil

(civilian value), bukan mengubah desain konstitusionalnya. Menjaga Polri tetap di

bawah Presiden bukan sekadar pilihan administratif, melainkan komitmen terhadap

amanat reformasi dan keluhuran konstitusi(TIM/RED)

This post have 0 comments


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post

Advertisement

Themeindie.com